Jalan aspal itu lurus dan mulus. Tak ada guncangan ketika mobil melaju kencang di atasnya. Warga setempat mengenal jalan itu sebagai Jalan Palangkaraya-Tangkiling. Jalan itu dibangun menandai pembangunan Kota Palangkaraya, kota baru yang diimpikan Soekarno. Kota yang kemudian diberi nama Palangkaraya yang berarti tempat suci, mulia, dan agung, yang didesain sebagai ibu kota Indonesia Raya.
Sepotong jalan itu menjadi saksi kemahiran insinyur-insinyur Rusia yang didatangkan oleh Presiden Soekarno untuk membangun jalan di tanah yang sangat berbeda kondisinya dengan negara asal mereka.
Pada 17 Desember 1962, pembangunan fondasi Jalan Rusia selesai. Pada tahun-tahun berikutnya, tinggal pembuatan drainase, pengerasan, dan pengaspalan. Pekerjaan yang lambat, tetapi hasilnya prima. Puluhan warga Dayak dan ratusan orang Jawa menjadi pekerja di bawah arahan belasan insinyur Rusia.
Namun, pembangunan jalan yang direncanakan sepanjang 175 kilometer dengan lebar 6 meter melewati Parenggean lalu ke Sampit dan Pangkalan Bun kemudian menghubungkan Palangkaraya dengan pelabuhan-pelabuhan sungai menuju ke Jawa ini dihentikan awal tahun 1966. Ketika itu jalan yang terbangun baru 34 km.
Pergantian kekuasaan pasca Gerakan 30 September 1965 membuat orang-orang Rusia bergegas meninggalkan Indonesia. Semua pekerja proyek menyembunyikan diri karena tak ingin disangkutpautkan dengan Rusia, Partai Komunis Indonesia, atau bahkan Soekarno.
Cerita pembangunan Jalan Rusia itu pun tamat. Segala yang berbau Rusia dihapus, termasuk ilmu pembangunan jalan yang diajarkan insinyur mereka di ruas Palangkaraya-Tangkiling.
Pembangunan jalan dengan teknik Rusia itu membutuhkan biaya tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan teknik seperti yang sekarang umum dibuat. Namun, usia jalan dengan teknik Rusia itu bisa lima kali lipat dari jalan yang ada pada umumnya saat ini.